Minggu, 21 Desember 2008

BIG BEN MINI Kota Solo

Jika di London ada The Tower of Big Ben, ada pula Tugu Jam di pusat Kota Solo. Letaknya persis di tengah persimpangan Jl Urip Sumoharjo-Jl Suryo Pranoto-Jl Ketandan, depan Pasar Gede. Bagi yang baru kali pertama melintas pusat Kota Solo, tugu jam ini mungkin membingungkan. Masing-masing jam di empat sisi tugu tersebut menunjukkan angka yang berbeda, karena sejak beberapa waktu lalu ada jam yang dibiarkan mati.


Dilihat dari bentuknya, tugu jam di depan Pasar Gede ini cenderung minimalis. Cat warna coklat dan putih menampakkan kesan sederhana, setidaknya dibandingkan dengan tugu lain seperti Tugu Cembengan. Tingginya pun tidak seberapa, terlebih jika dibandingkan dengan Pasar Gede yang bertembok tinggi. Letak keunikannya terletak pada jam dinding yang berada pada tiap sisinya. Sangat berbeda dengan Big Ben di London, tugu ini memang tak sebesar dan semegah itu.

Tak banyak yang tahu persis kapan tugu yang berdiri di tengah-tengah persimpangan Jl Urip Sumoharjo itu dibangun. Dari inventarisasi Bappeda Solo tahun 1995, tugu ini didirikan atas prakarsa Paku Buwono (PB) X bersamaan dengan Tugu Tiang Lampu Gladak. Versi lain menyebutkan tugu tersebut didirikan sebelum Pasar Gede dibangun. Pada masa PB X dilakukan penambahan jam pada dinding tugu. Hal ini merujuk pada fungsi tugu-tugu serupa dalam pengaturan lalu lintas persimpangan jalan. Namun yang pasti, penempatan jam dinding di tengah kota ini menunjukkan ide pembangunan kota yang cerdas di era pemerintahan PB X.

Keberadaan jam-jam dinding di bagian atas bangunan tugu membuat tugu ini menjadi multifungsi. Karena berada di pusat kota, jam ini semestinya mampu menjadi referensi waktu bagi masyarakat yang melintas di persimpangan tersebut. Sayang kondisinya kurang diperhatikan mengingat kini ada jam yang mati. Yang lebih parah, salah satu jam yang berada di sisi timur kini tidak lagi berada di tempatnya.

Terlepas dari berbagai kesederhanaannya, tugu ini telah memainkan peran sangat berarti di masa lalu, tentunya dengan hiruk pikuk warga yang tidak sepadat saat ini. Setidaknya salah satu jam masih menunjukkan waktu yang tepat. Dengan bunderan yang melingkarinya, manfaatnya masih terasa hingga sekarang. Bunderan tersebut ”memaksa” para pengguna jalan dari utara dan timur untuk tertib mengitari tugu sebelum berbelok arah. Berdasarkan penelusuran, dulu bunderan tersebut cukup lebar sebelum diperkecil ukurannya seperti yang dapat dilihat saat ini.

Minggu, 16 November 2008

CITY WALK-nya SOLO

Kalau kita berjalan-jalan ke kota Solo sekarang ini, kita akan melihat kosmetik baru yang mempercantk wajah kota Solo. Banyak proyek-proyek pertamanan yang dikerjakan pemda setempat yang akhirnya membentuk public space, ruang milik bersama bagi penghuni kota untuk beraktivitas, bersantai maupun bersosialisasi. Salah satu proyek paling prestisius yang dikerjakan adalah proyek menyulap sisi selatan jalan protokol utama Jl Slamet Riyadi, yang sebelumnya merupakan jalur lambat menjadi pedestrian panjang untuk pejalan kaki, yang disebut Solo City Walk.

Solo city walk adalah sebuah proyek mercusuar pemda yang dilandasi pemikiran untuk mengangkat potensi Solo yang ada dan tumbuh dengan slogan Solo past as Solo future. Proyek ini bertujuan hendak mengembalikan ruang publik yang pernah ada dalam aktivitas masyarakat Solo dimasa lampau. Nilai-nilai adiluhung kota Solo tidak serta merta dapat dimasukkan dalam city walk yang ada karena kondisi sosial-kultural masyarakat masa kini yang beraneka ragam juga harus diperhatikan. Hal ini penting agar kehadiran city walk yang ingin metonjolkan sisi romantisme Solo dimasa lampau bisa menyatu dengan kebijakan pengembangan lain yang dilakukan pemda maupun pihak swasta.

Koridor jalan protokol Slamet Riyadi yang dipilih mempunyai banyak titik-titik menarik yang sangat mendukung perencanaan city walk Jalur wisata mulai dari Stasiun Purwosari berujung di kawasan benteng Vastenburg dan Pasar Gede, dipenuhi bangunan-bangunan heritage yang beberapa masih tegak berdiri. Dijalur ini dapat dijumpai pusat perbelanjaan modern, kawasan konservasi Sriwedari, Museum Radya Pustaka, Museum Batik Kuno Danarhadi, Kawasan Ngarsopuran Mangkunegaran, Kampung Kauman (yang saat ini juga dicanangkan sebagai salah satu kampung wisata batik di Solo yang juga menawarkan wisata suasana religius Islam yang kental), Gladhag, Alun-Alun Utara, Masjid Agung Solo, kawasan keraton Kasunanan, benteng Vastenburg, yang kemudian dapat dilanjutkan ke pasar tradisional Pasar Gede.

Saat ini sisi selatan Jalan Slamet Riyadi telah mengalami perubahan berupa penataan kawasan pedestrian dengan jalur hijau dan jalur pejalan kaki. Pedagang kaki lima yang keberadaannya berusaha dihilangkan atau diposisikan sebagai pihak yang terpinggirkan di kebanyakan kota-kota besar di Indonesia, diberi tempat-tempat khusus dan diberikan sarana berjualan yang seragam dan rapi. Pemda menyadari bahwa keberadaan mereka merupakan salah satu unsur unik yang memerlukan proses kebijakan untuk penataan dan juga memiliki hak untuk memanfaatkan kota sebagai publik domain. Salah satu potensi unik Solo yang sudah jarang dijumpai di Indonesia dan kebetulan juga terletak di sisi selatan Jalan Slamet Riyadi adalah keberadaan rel trem sebagai sarana transportasi, jika keberadaan rel trem ini diberdayakan kembali sebagai penunjang City Walk dapat dipastikan Solo city walk merupakan city walk yang paling unik karena satu-satunya city walk yang tiap waktu tertentu dilalui oleh kereta. Jangan lupakan juga keberadaan becak sebagai sarana transportasi tradisional kota. Luar biasa.

Keberadaan jalur hijau yang lebar disepanjang koridor Jalan Slamet Riyadi juga menjadi salah satu potensi yang telah disulap menjadi salah satu elemen penunjang yang sangat menarik. Jalur ini telah berubah menjadi taman kota yang dilengkapi tempat duduk cantik yang berfungsi sebagai tempat singgah untuk beristirahat, menikmati kesejukan dan keindahan bunga, jogging atau berolahraga. Satu hal yang dirindukan oleh masyarakat kota. Atau lakukan rekreasi edukatif melaui informasi historikal yang dapat dijumpai di museum Radya Pustaka yang saat ini keberadaannya sebagai museum tertua mulai terlupakan atau museum Batik Kuno Danarhadi.

Lebarnya pedestrian, taman yang tertata rapi dan fasilitas penunjang lainnya yang memadai, membuat kawasan ini menjadi lokasi yang ideal untuk dilakukannya festival-festival seni. Festival Nasi Liwet dan Solo Art Festival adalah contoh festival-festival yang telah memanfaatkan keberadaan kawasan ini.

Yang harus juga diingat oleh pemda Solo, bukan hanya pembangunan fisik yang harus dilakukan untuk mengembangkan Solo sebagai solo's past as solo's future tetapi juga unsur non fisik yakni keberadaan warga Solo yang akan turut mendukung keberadaan city walk ini. Pola pikir masyarakat yang terbentuk agar mencintai kotanya sebagai Heritage City dan kesadaran masyarakat akan potensi historis kotanya akan berpengaruh langsung dalam mewujudkan image yang ingin ditampilkan.

Perlu proses panjang memang yang melibatkan berbagai pihak apalagi di tengah hiruk pikuk pro kontra yang masih bermunculan.

Rabu, 12 November 2008

Balekambang, taman tanda cinta orang tua

Taman Balekambang dibangun oleh Kanjeng Gusti Adipati Mangkunegoro VII pada tahun 1921 sebagai tanda cinta beliau kepada dua putri beliau. Itulah sebabnya pada awalnya taman ini dibagi menjadi dua area. Area pertama diberi nama Partini Tuin yang berarti Taman Partini. Partini adalah nama putri tertua Kanjeng Gusti Adipati Mangkunegoro VII. Area kedua dinamakan Partinah Bosch yang berarti Taman Air Partinah. Seperti halnya Partini, Partinah juga adalah putri dari Kanjeng Gusti Adipati Mangkunegoro VII. Kedua taman inilah yang dikemudian hari oleh masyarakat Solo lebih dikenal sebagai Taman Balekambang.

Selain keberadaan taman hutan kota dan taman air, Balekambang juga terkenal oleh keberadaan gedung pertunjukan Ketoprak-nya. Pada masa kejayaannya, sebelum era pertelevisian swasta, gedung pertunjukan Ketoprak selalu ramai penuh penonton. Mereka rela berdiri berdesakan jika tidak mendapatkan tempat duduk. Salah satu group yang dibesarkan gedung ketoprak ini adalah kelompok Srimulat Solo yang dipimpin oleh Bapak Teguh Almarhum.

Seiring berjalannya waktu pamor Taman Balekambang mulai meredup. Gedung ketoprak yang biasanya penuh mulai ditinggalkan oleh penontonnya yang lebih memilih menonton televisi di rumah. Taman air yang jernih berubah menjadi keruh dan tidak menarik. Pemerintah daerah saat itu, yang melihat keberadaan taman yang mulai ditinggalkan berusaha menarik perhatian pengunjung dengan menyewakan lahan yang ada pada pelaku dunia hiburan. Hasilnya di dalam taman muncul diskotik, panti pijat dan restoran yang mengakibatkan Taman Balekambang dikonotasikan secara negatif oleh masyarakat.
Saat ini (tahun 2008) Pemda Surakarta berusaha melakukan revitalisasi Taman Balekambang untuk dikembalikan ke kondisi semula setelah selama bertahun-tahun tenggelam dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Revitalisasi ini merupakan rencana pemda setempat untuk mengembalikan ruang terbuka publik dan menambah daerah resapan air. Sebuah rencana mulia yang wajib untuk didukung.

Taman Balekambang sekarang ini muncul menjadi hutan kota yang nyaman yang dilengkapi dengan tumbuhan langka berukuran besar, patung-patung, air mancur, amphi theater dan kursi taman berdesain unik. Dibutuhkan komitmen dari semua pihak, terutama pemda Solo dimasa mendatang untuk tetap menjaga dan melestarikan keberadaan taman ini. Peran serta masyarakat pun tidak kalah pentingnya untuk turut melindungi dan menjaga taman ini.

Selasa, 04 November 2008

asal mula BENGAWAN SOLO

Bagi masyarakat Solo dan sekitarnya, nama Bengawan Solo tentu sudah tidak asing lagi. Kemasyuran sungai terbesar yang membelah Kota Solo tersebut semakin dikenal lewat lagu Bengawan Solo karya maestro keroncong Gesang. Namun siapa sangka ternyata dulu nama sungai kebanggaan masyarakat Solo dan sekitarnya itu dahulu bernama Bengawan Beton, bukan Bengawan Solo.
Menurut buku Babad Sala yang ditulis RM Sajid, koleksi Reksopustaka Istana Mangkunegaran, pada zaman Mataram, terdapat sebuah dusun bernama Nusupan. Dusun itu terletak di sebelah tenggara Desa Sala, wilayah yang kemudian menjadi tempat perpindahan Keraton Kartasura. Ada sungai besar yang dinamakan Bengawan Beton membelah wilayah dusun itu menjadi dua bagian.

Keberadaan Bengawan Beton menjadi salah satu pembatas Dusun Sala. Dusun Sala dibatasi sungai dan bengawan. Di sebelah utara dibatasi Kali Pepe, di sebelah timur dibatasi Bengawan Beton sampai ke Dusun Nusupan. Sebelah selatannya dibatasi Kali Wingka. Bengawan Beton yang terletak di Dusun Nusupan tersebut menjadi bandar pelabuhannya para saudagar dan nakhoda yang melakukan pelayaran ke Gresik dan Surabaya. Mereka pulang pergi melewati Bengawan Beton tersebut. Pada zaman Mataram, Dusun Nusupan tersebut berkembang semakin ramai. Para saudagar dari Kotagede di Mataram kalau pergi ke Gresik juga melewati Dusun Nusupan.

Dalam buku Babad Sala juga disebutkan, Kiai Gedhe Sala, bebekel atau tetua dusun tersebut memiliki kewenangan untuk menarik pajak bandar pelabuhan kepada para saudagar yang melakukan perdagangan di tempat itu. Juga dijelaskan, bandar tersebut semakin lama semakin maju. Para pedagang melakukan transaksi jual beli di dusun tersebut. Bahkan banyak juga di antara mereka yang mendirikan rumah di tempat tersebut.

Setelah banyak dikenal ke lain wilayah, nama Bengawan Solo kemudian berganti nama, diganti dengan namanya Kiai Gedhe Sala bebekel di tempat tersebut sehingga kemudian bernama Bengawan Sala. Selain Bengawan Beton ternyata dulu masyarakat juga mengenal Benawi Sangkrah atau Bengawan Sangkrah.

Perubahan nama tersebut terjadi setelah perpindahan Keraton Kartasura ke Desa Sala.

Kamis, 30 Oktober 2008

Kota Solo, KOTA WISATA









Geliat Kota Solo sudah mulai terasa dalam beberapa tahun terakhir ini. Trauma kerusuhan yang pernah terjadi ­kerusuhan tahun 1998, yang menghanguskan banyak bangunan di tengah kota berangsur-angsur mulai pulih. Sekarang, masyarakatnya antusias untuk kembali berbenah. Salah satunya, kembali ingin menjaring para wisatawan, entah itu wisatawan domestik ataupun dari mancanegara. Kenapa tidak, Solo juga bisa jadi alternatif menarik untuk berwisata.

Solo, memang belum seramai kota-kota wisata lainnya di Indonesia, walau sebetulnya banyak sekali potensi wisata. Selain pasar tradisonal, kesenian, dan kerajinan, juga ukiran yang dijadikan hiasan furnitur, sutra, dan garment, dimiliki Solo. Namun, karena pasar dan penjualannya kurang, produsen menjualnya di Yogya.

Kita telusuri beberapa objek wisata Kota Solo.

Pasar Triwindu, ada pernak-pernik antik, cantik, dan unik di pasar loak yang letaknya tak jauh dari jalan utama Slamet Riyadi, di depan Puro Mangkunegaran, Solo itu. Gerbangnya tak mengundang perhatian, bahkan tak terawat. Namun, begitu masuk, sebuah kios yang dipenuhi cenderamata antik, seperti porselin Cina, lampu teplok, hiasan wayang dari kulit dan kayu, serta topeng, sudah mengundang mata untuk melihat-lihat.

Asik juga memilih dan memilah-milah hiasan kecil cantik dari kuningan berbentuk binatang, seperti gajah, kodok, kura-kura, kucing, dan anjing itu. Yang paling unik, bertumpuk-tumpuk koin untuk kerokan bisa "diacak-acak" satu per satu. Yang bagaimana, ya, yang enak untuk dipakai kerokan? Pernak-pernik ini tak mahal, dan cukup spesial untuk oleh-oleh.
Pasar Triwindu bisa jadi tempat penuh daya tarik bagi penikmat hiasan-hiasan dan benda-benda antik. Jika sabar memilih, Anda akan memperoleh pernak-pernik yang bagus dan sesuai selera karena memang di setiap kios, benda-benda itu digelar tak beraturan. Berkeliling pasar pun cukup nyaman karena Anda pun tak akan "diburu-buru" atau "dipaksa" si penjual untuk membeli.

Dari sana, kita bisa ke Pasar Klewer, Pasar Bunga, Pasar Buah, dan Pasar Burung? Cari batik, Klewer tempatnya. Sayangnya, kualitasnya terkadang tidak terjamin. Kadang ada yang bagus, kadang sulit mengetahui bagus tidaknya. Tak heran jika tak paham benar, lebih baik beli di toko, atau bahkan ke Yogya saja. Sebetulnya, keliling pasar itu cukup menarik, walau sampai saat ini suasananya masih belum menyentuh "irama" sebuah objek wisata.

Demikian dengan wisata ke Kraton Kasunanan Surakarta dan Puro Mangkunegaran kesunanan, atau beberapa museum yang salah satunya menyimpan manusia purba pithecantropus erectus, penemuan Eugene Dubois.

Namun pelan-pelan, masyarakat Solo sudah menyediakan prasarana menarik untuk jalan-jalan malam hari. Selain tempat makan lesehan (wedangan) yang menyajikan minuman khas, salah satunya, teh poci gula batu, juga kawasan untuk warung-warung timlo dan soto, ada juga kawasan yang menyediakan tempat ala kafe yang menjual aneka steak.

Walaupun tempat-tempat tersebut masih belum begitu ramai dikunjungi, tapi menjanjikan untuk terus dikembangkan.

KEEP SOLO COMFORT!!

Rabu, 29 Oktober 2008

MASJID AGUNG Surakarta

Masjid Agung Surakarta dibangun oleh PB III tahun 1763 dan selesai pada tahun 1768. Pada masa lalu merupakan Masjid Agung Negara. Semua pegawai pada Masjid Agung merupakan abdi dalem Keraton, dengan gelar dari keraton misalnya Kanjeng Raden Tumenggung Penghulu Tafsiranom (penghulu) dan Lurah Muadzin.

Merupakan masjid dengan katagori Masjid Jami’ yaitu masjid yang digunakan untuk sholat lima waktu dan sholat Jum'at. Segala keperluan masjid juga disediakan oleh kerajaan dan dipergunakan untuk upacara keagamaan yang diselenggarakan kerajaan.

Masjid Agung merupakan kompleks bangunan seluas 19.180 m2 yang dipisahkan dari lingkungan sekitar dengan tembok pagar keliling setinggi 3,25m. Bangunan Masjid Agung Surakarta secara keseluruhan berupa bangunan tajug yang beratap tumpang tiga dan berpuncak mustaka.

Masjid Agung terdiri dari Serambi, mempunyai semacam lorong yang menjorok ke depan (tratag rambat) yang bagian depannya membentuk kuncung. Ruang salat Utama, mempunyai 4 saka guru dan 12 saka rawa dengan mihrab dengan kelengkapan mimbar sebagai tempat Khotib pada waktu Sholat Jum’at. Pawestren, (tempat salat untuk wanita) dan Balai Musyawarah, tempat berwudhu.
Pagar Keliling, dibangun pada masa PB VIII tahun 1858. Pagongan, terdapat di kiri kanan pintu masuk masjid, bentuk dan ukuran bangunan sama yaitu berbentuk pendapa yang digunakan untuk tempat Gamelan ketika upacara Sekaten (Upacara Peringatan hari lahir Nabi Muhammad S.A.W. Istal dan garasi kereta untuk Raja ketika Salat Jum’at dan Gerebeg, diperkirakan dibangun bersamaan dengan dibangunnya Masjid Agung Surakarta.
Menara Adzan, mempunyai corak arsitektur menara Kutab Minar di India. Didirikan pada tahun 1928. Tugu Jam Istiwak, yaitu jam yang menggunakan patokan posisi matahari untuk menentukan waktu salat. Gedang Selirang, merupakan bangunan yang dipergunakan untuk para abdi dalem yang mengurusi masjid Agung.

Pasar Gedhe Hardjonagoro Solo

Pasar Gedhe Hardjonagoro dibangun pada 12 Januari 1930 semasa pemerintahan Pakoe Buwono X (1893-1939) oleh Ir. Herman Thomas Karsten (1884-1945). Dibangun di area seluas 10.421 hektar, berlokasi di persimpangan jalan dari kantor gubernur yang sekarang bernama Balai Kota Surakarta.

Pasar Gedhe awalnya muncul dari embrio pasar candi yang berkarater Candi Padurasa. Namun terletak di kawasan Pecinan, kegiatan religiositas mengalami pergeseran menjadi pasar ekonomi, yang kemudian disebut Pasar Gede Oprokan. Dan kemudian melalui berbagai transformasi lain, Pasar Gedhe mencapai keberadaannya sekarang.

Dalam lintasan sejarah kota Solo, keberadaan Pasar Gedhe, tercatat telah meninggalkan jejak sejarah fungsi bangunan pasar ke dalam tiga kurun zaman. Pertama, Pasar Gede dikenal sebagai pasar 'candi' (sakral), kedua sebagai simbol kosmologi projo-kejawen kraton yang dikenal sebagai konsep 'sar-gedhe', dan ketiga sebagai simbol lahirnya budaya kota.

Senin, 27 Oktober 2008

BENTENG VASTENBURG, riwayatmu kini.

Benteng Vastenburg dulu digunakan sebagai pusat pengawasan kolonial Belanda untuk mengawasi gerak-gerik Keraton Kasunanan, namun sekarang keadaannya tidak terurus, di pusat kota Surakarta di dekat (sejalan dengan) Balaikota Surakarta. Dulu bangunan ini bernama "Grootmoedigheid" dan didirikan oleh Gubernur Jenderal Baron van Imhoff pada tahun 1745. Benteng ini dahulu merupakan benteng pertahanan yang berkaitan dengan rumah Gubernur Belanda. Benteng dikelilingi oleh kompleks bangunan lain yang berfungsi sebagai bangunan rumah tinggal perwira dan asrama perwira. Bangunan benteng ini dikelilingi oleh tembok batu bata setinggi enam meter dengan konstruksi bearing wall serta parit dengan jembatan angkat sebagai penghubung. Setelah kemerdekaan pernah berfungsi sebagai kawasan militer dan asrama bagi Brigade Infanteri 6/Trisakti Baladaya / Kostrad. Bangunan di dalam benteng dipetak-petak untuk rumah tinggal para prajurit dengan keluarganya.

Tidaklah sulit untuk melihat kondisi Benteng ini, karena saat anda melintas di kawasan depan Balaikota atau disebelah timur Gapura Gladak, anda dapat melihat sebuah tembok tua yang menjadi saksi bisu perjuangan dimasa lalu.

Saat ini yang tersisa hanyalah tembok bangunan bentengnya saja, sementara bangunan-bangunan di dalamnya sudah tidak ada lagi. Tidak jelas apakah penyebab dari hilangnya bangunan-bangunan didalam benteng tersebut. Bisa jadi karena area ini sekarang telah dimiliki oleh perseorangan, sehingga kurang memperhatikan nilai historis dan lebih mementingkan nilai ekonomis belaka.

Keberadaan Benteng Vastenburg mulai muncul ke permukaan saat diadakannya festival musik Solo International Etnic Musical (SIEM). Setelah itu Benteng Vastenburg kembali terbengkalai. Kini Benteng Vastenburg mulai bergejolak dengan adanya isu akan dibangunnya hotel Beauty dan mall di lokasi tersebut. Jika hal ini benar-benar terjadi, bukan tidak mungkin hal yang sama akan terjadi pada cagar budaya lain. Agaknya pelan tapi pasti ada upaya untuk meruntuhkan jejak-jejak sejarah kota Solo yang dimaknai sebagai aksi untuk meruntuhkan identitas atau jati diri kota kuno Solo.

Dapat dikatakan bahwa nilai historis dan budaya Benteng Vastenburg yang adi luhung terabrasi oleh gemburan budaya ekonomi Kapitalisme. Hal ini ada suatu perubahan sosial yang dikatakan sebagai suatu episode lahirnya sejarah baru kota Solo.

Sejarah SURAKARTA

Sejarah Kota Surakarta bermula ketika Sunan Pakubuwana II memerintahkan Tumenggung Honggowongso dan Tumenggung Mangkuyudo serta komandan pasukan Belanda J.A.B. Van Hohendorff untuk mencari lokasi Ibukota Kerajaan Mataram Islam yang baru.

Mempertimbangan faktor fisik dan non fisik, akhirnya terpilih suatu desa di tepi Sungai Bengawan yang bernama desa Sala (1746 M atau 1671 Jawa). Sejak saat itu desa Sala berubah menjadi Surakarta Hadiningrat dan terus berkembang pesat.

Adanya Perjanjian Giyanti, 13 Februari 1755 menyebabkan Mataram Islam terpecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta dan terpecah lagi dalam perjanjian Salatiga 1767 menjadi Kasunanan dan Mangkunegaran.

Dari fakta sejarah kota, perkembangan Surakarta pada jaman dahulu sangat dipengaruhi oleh keberadaan pusat pemerintahan Kasunanan dan Mangkunegaran, Benteng Vastenburg sebagai pusat pengawasan kolonial belanda terhadap Surakarta serta Pasar Gedhe Hardjonagoro sebagai pusat perekonomian kota.