Kamis, 30 Oktober 2008

Kota Solo, KOTA WISATA









Geliat Kota Solo sudah mulai terasa dalam beberapa tahun terakhir ini. Trauma kerusuhan yang pernah terjadi ­kerusuhan tahun 1998, yang menghanguskan banyak bangunan di tengah kota berangsur-angsur mulai pulih. Sekarang, masyarakatnya antusias untuk kembali berbenah. Salah satunya, kembali ingin menjaring para wisatawan, entah itu wisatawan domestik ataupun dari mancanegara. Kenapa tidak, Solo juga bisa jadi alternatif menarik untuk berwisata.

Solo, memang belum seramai kota-kota wisata lainnya di Indonesia, walau sebetulnya banyak sekali potensi wisata. Selain pasar tradisonal, kesenian, dan kerajinan, juga ukiran yang dijadikan hiasan furnitur, sutra, dan garment, dimiliki Solo. Namun, karena pasar dan penjualannya kurang, produsen menjualnya di Yogya.

Kita telusuri beberapa objek wisata Kota Solo.

Pasar Triwindu, ada pernak-pernik antik, cantik, dan unik di pasar loak yang letaknya tak jauh dari jalan utama Slamet Riyadi, di depan Puro Mangkunegaran, Solo itu. Gerbangnya tak mengundang perhatian, bahkan tak terawat. Namun, begitu masuk, sebuah kios yang dipenuhi cenderamata antik, seperti porselin Cina, lampu teplok, hiasan wayang dari kulit dan kayu, serta topeng, sudah mengundang mata untuk melihat-lihat.

Asik juga memilih dan memilah-milah hiasan kecil cantik dari kuningan berbentuk binatang, seperti gajah, kodok, kura-kura, kucing, dan anjing itu. Yang paling unik, bertumpuk-tumpuk koin untuk kerokan bisa "diacak-acak" satu per satu. Yang bagaimana, ya, yang enak untuk dipakai kerokan? Pernak-pernik ini tak mahal, dan cukup spesial untuk oleh-oleh.
Pasar Triwindu bisa jadi tempat penuh daya tarik bagi penikmat hiasan-hiasan dan benda-benda antik. Jika sabar memilih, Anda akan memperoleh pernak-pernik yang bagus dan sesuai selera karena memang di setiap kios, benda-benda itu digelar tak beraturan. Berkeliling pasar pun cukup nyaman karena Anda pun tak akan "diburu-buru" atau "dipaksa" si penjual untuk membeli.

Dari sana, kita bisa ke Pasar Klewer, Pasar Bunga, Pasar Buah, dan Pasar Burung? Cari batik, Klewer tempatnya. Sayangnya, kualitasnya terkadang tidak terjamin. Kadang ada yang bagus, kadang sulit mengetahui bagus tidaknya. Tak heran jika tak paham benar, lebih baik beli di toko, atau bahkan ke Yogya saja. Sebetulnya, keliling pasar itu cukup menarik, walau sampai saat ini suasananya masih belum menyentuh "irama" sebuah objek wisata.

Demikian dengan wisata ke Kraton Kasunanan Surakarta dan Puro Mangkunegaran kesunanan, atau beberapa museum yang salah satunya menyimpan manusia purba pithecantropus erectus, penemuan Eugene Dubois.

Namun pelan-pelan, masyarakat Solo sudah menyediakan prasarana menarik untuk jalan-jalan malam hari. Selain tempat makan lesehan (wedangan) yang menyajikan minuman khas, salah satunya, teh poci gula batu, juga kawasan untuk warung-warung timlo dan soto, ada juga kawasan yang menyediakan tempat ala kafe yang menjual aneka steak.

Walaupun tempat-tempat tersebut masih belum begitu ramai dikunjungi, tapi menjanjikan untuk terus dikembangkan.

KEEP SOLO COMFORT!!

Rabu, 29 Oktober 2008

MASJID AGUNG Surakarta

Masjid Agung Surakarta dibangun oleh PB III tahun 1763 dan selesai pada tahun 1768. Pada masa lalu merupakan Masjid Agung Negara. Semua pegawai pada Masjid Agung merupakan abdi dalem Keraton, dengan gelar dari keraton misalnya Kanjeng Raden Tumenggung Penghulu Tafsiranom (penghulu) dan Lurah Muadzin.

Merupakan masjid dengan katagori Masjid Jami’ yaitu masjid yang digunakan untuk sholat lima waktu dan sholat Jum'at. Segala keperluan masjid juga disediakan oleh kerajaan dan dipergunakan untuk upacara keagamaan yang diselenggarakan kerajaan.

Masjid Agung merupakan kompleks bangunan seluas 19.180 m2 yang dipisahkan dari lingkungan sekitar dengan tembok pagar keliling setinggi 3,25m. Bangunan Masjid Agung Surakarta secara keseluruhan berupa bangunan tajug yang beratap tumpang tiga dan berpuncak mustaka.

Masjid Agung terdiri dari Serambi, mempunyai semacam lorong yang menjorok ke depan (tratag rambat) yang bagian depannya membentuk kuncung. Ruang salat Utama, mempunyai 4 saka guru dan 12 saka rawa dengan mihrab dengan kelengkapan mimbar sebagai tempat Khotib pada waktu Sholat Jum’at. Pawestren, (tempat salat untuk wanita) dan Balai Musyawarah, tempat berwudhu.
Pagar Keliling, dibangun pada masa PB VIII tahun 1858. Pagongan, terdapat di kiri kanan pintu masuk masjid, bentuk dan ukuran bangunan sama yaitu berbentuk pendapa yang digunakan untuk tempat Gamelan ketika upacara Sekaten (Upacara Peringatan hari lahir Nabi Muhammad S.A.W. Istal dan garasi kereta untuk Raja ketika Salat Jum’at dan Gerebeg, diperkirakan dibangun bersamaan dengan dibangunnya Masjid Agung Surakarta.
Menara Adzan, mempunyai corak arsitektur menara Kutab Minar di India. Didirikan pada tahun 1928. Tugu Jam Istiwak, yaitu jam yang menggunakan patokan posisi matahari untuk menentukan waktu salat. Gedang Selirang, merupakan bangunan yang dipergunakan untuk para abdi dalem yang mengurusi masjid Agung.

Pasar Gedhe Hardjonagoro Solo

Pasar Gedhe Hardjonagoro dibangun pada 12 Januari 1930 semasa pemerintahan Pakoe Buwono X (1893-1939) oleh Ir. Herman Thomas Karsten (1884-1945). Dibangun di area seluas 10.421 hektar, berlokasi di persimpangan jalan dari kantor gubernur yang sekarang bernama Balai Kota Surakarta.

Pasar Gedhe awalnya muncul dari embrio pasar candi yang berkarater Candi Padurasa. Namun terletak di kawasan Pecinan, kegiatan religiositas mengalami pergeseran menjadi pasar ekonomi, yang kemudian disebut Pasar Gede Oprokan. Dan kemudian melalui berbagai transformasi lain, Pasar Gedhe mencapai keberadaannya sekarang.

Dalam lintasan sejarah kota Solo, keberadaan Pasar Gedhe, tercatat telah meninggalkan jejak sejarah fungsi bangunan pasar ke dalam tiga kurun zaman. Pertama, Pasar Gede dikenal sebagai pasar 'candi' (sakral), kedua sebagai simbol kosmologi projo-kejawen kraton yang dikenal sebagai konsep 'sar-gedhe', dan ketiga sebagai simbol lahirnya budaya kota.

Senin, 27 Oktober 2008

BENTENG VASTENBURG, riwayatmu kini.

Benteng Vastenburg dulu digunakan sebagai pusat pengawasan kolonial Belanda untuk mengawasi gerak-gerik Keraton Kasunanan, namun sekarang keadaannya tidak terurus, di pusat kota Surakarta di dekat (sejalan dengan) Balaikota Surakarta. Dulu bangunan ini bernama "Grootmoedigheid" dan didirikan oleh Gubernur Jenderal Baron van Imhoff pada tahun 1745. Benteng ini dahulu merupakan benteng pertahanan yang berkaitan dengan rumah Gubernur Belanda. Benteng dikelilingi oleh kompleks bangunan lain yang berfungsi sebagai bangunan rumah tinggal perwira dan asrama perwira. Bangunan benteng ini dikelilingi oleh tembok batu bata setinggi enam meter dengan konstruksi bearing wall serta parit dengan jembatan angkat sebagai penghubung. Setelah kemerdekaan pernah berfungsi sebagai kawasan militer dan asrama bagi Brigade Infanteri 6/Trisakti Baladaya / Kostrad. Bangunan di dalam benteng dipetak-petak untuk rumah tinggal para prajurit dengan keluarganya.

Tidaklah sulit untuk melihat kondisi Benteng ini, karena saat anda melintas di kawasan depan Balaikota atau disebelah timur Gapura Gladak, anda dapat melihat sebuah tembok tua yang menjadi saksi bisu perjuangan dimasa lalu.

Saat ini yang tersisa hanyalah tembok bangunan bentengnya saja, sementara bangunan-bangunan di dalamnya sudah tidak ada lagi. Tidak jelas apakah penyebab dari hilangnya bangunan-bangunan didalam benteng tersebut. Bisa jadi karena area ini sekarang telah dimiliki oleh perseorangan, sehingga kurang memperhatikan nilai historis dan lebih mementingkan nilai ekonomis belaka.

Keberadaan Benteng Vastenburg mulai muncul ke permukaan saat diadakannya festival musik Solo International Etnic Musical (SIEM). Setelah itu Benteng Vastenburg kembali terbengkalai. Kini Benteng Vastenburg mulai bergejolak dengan adanya isu akan dibangunnya hotel Beauty dan mall di lokasi tersebut. Jika hal ini benar-benar terjadi, bukan tidak mungkin hal yang sama akan terjadi pada cagar budaya lain. Agaknya pelan tapi pasti ada upaya untuk meruntuhkan jejak-jejak sejarah kota Solo yang dimaknai sebagai aksi untuk meruntuhkan identitas atau jati diri kota kuno Solo.

Dapat dikatakan bahwa nilai historis dan budaya Benteng Vastenburg yang adi luhung terabrasi oleh gemburan budaya ekonomi Kapitalisme. Hal ini ada suatu perubahan sosial yang dikatakan sebagai suatu episode lahirnya sejarah baru kota Solo.

Sejarah SURAKARTA

Sejarah Kota Surakarta bermula ketika Sunan Pakubuwana II memerintahkan Tumenggung Honggowongso dan Tumenggung Mangkuyudo serta komandan pasukan Belanda J.A.B. Van Hohendorff untuk mencari lokasi Ibukota Kerajaan Mataram Islam yang baru.

Mempertimbangan faktor fisik dan non fisik, akhirnya terpilih suatu desa di tepi Sungai Bengawan yang bernama desa Sala (1746 M atau 1671 Jawa). Sejak saat itu desa Sala berubah menjadi Surakarta Hadiningrat dan terus berkembang pesat.

Adanya Perjanjian Giyanti, 13 Februari 1755 menyebabkan Mataram Islam terpecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta dan terpecah lagi dalam perjanjian Salatiga 1767 menjadi Kasunanan dan Mangkunegaran.

Dari fakta sejarah kota, perkembangan Surakarta pada jaman dahulu sangat dipengaruhi oleh keberadaan pusat pemerintahan Kasunanan dan Mangkunegaran, Benteng Vastenburg sebagai pusat pengawasan kolonial belanda terhadap Surakarta serta Pasar Gedhe Hardjonagoro sebagai pusat perekonomian kota.